Aktivis dan Realitas Sosial
oleh :Ciptaning Tyaslarasati
Hidup sesak gempita
diantara para mahasiswa yang agresif demi kebaikan suatu Negara, mungkin adalah
pemadangan umum atau mungkin suatu makanan sehari-hari yang dialami oleh
mahasiswa yang menyandang gelar sebagai aktivis, terutama di negeri ini. Namun,
dibalik suara toa yang lantang saat berdemo, tulisan provokatif yang mengancam
atau diskusi – diskusi yang sebagian cukup memeras otak, ternyata mereka tetap
merasakan kegalauan yang dialami mahasiswa atau remaja pada umumnya. Galau karena
Negara, pemerintahan atau rakyat yang tertindas mungkin hal biasa mereka alami,
tetapi disaat para pemikir itu menggalaukan lawan jenis mereka adalah suatu hal
yang mungkin jauh lebih menarik untuk diketahui, daripada melihat kegalauan
mahasiswa biasa.
Berawal dari
sebuah buku yang dijadikan film, ‘Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstan’
membuka mata kita tentang cerita dibalik keseharian seorang aktivis dibalik
tulisannya yang membombardir pemerintah, ternyata terdapat puisi – puisi manis
yang penuh makna dalam bagi kaum hawa yang membacanya.
Puisi, mungkin
adalah sebuah pelabuhan kata-kata bagi seorang demonstran seperti Gie dalam
mengungkapkan kegalauannya, dalam buku tersebut, tepat di bab ke-tujuh dengan
tema Politik, Pesta dan Cinta, halaman pertama bab ke-tujuh itu kita sudah
disuguhkan dengan sebuah puisi yang beliau rangkai sendiri dengan judul,”Sebuah
Tanya” yang sampai sekarang entah ditujukan untuk siapa, tetapi dari tiap bait
yang tersusun dapat dipastikan bahwa itu adalah puisi tentang cinta.
Kegalauan Gie
akan seorang wanita yang singgah dihatinya itu ternyata tertuang dalam buku
hariannya yang sekarang bisa dibaca diseantero Indonesia, siapa yang tidak
kenal dengan Rina dan Maria, dua tokoh wanita yang ter-ekspose cukup dalam
dikehidupan Gie, terutama Maria yang harus menolak Gie karena orangtua Maria
yang tidak mengizinkan sebuah pertemanan istimewa mereka karena faktor Gie
adalah seorang aktivis kampus yang terkenal dengan ke-ekstremannya dalam melawan
pemerintah.
Berikut adalah
beberapa kalimat-kalimat kegalauan Gie yang ditulis dalam buku hariannya :
“Saya katakan bahwa kalau ia (Maria) ingin
tetap jadi kawan, soalnya telah terlambat. Hal ini memerlukan proses waktu.
Cara satu-satunya adalah agar kita saling menjauhi. “Kalau kau di (warung)
senggol, saya tak akan kesana. Kalau saya ada di Senggol dank aku datang saya
pergi. Ia kelihatannya kacau sekali, kita ngomong soal-soal ini lama sekali
sampai tiga jam.”(Jum’at, 4 April 1968)
“Sangat sulit
untuk menebak perasaan Rina yang selalu tersenyum. “She is a smiling mask. Saya tanyakan kemudian apakah ia merasa
sakit karena hubungan saya dengan Maria. Ia katakan tidak, tapi ragu – ragu dengan
jawaban ini. She is a human being.
Saya katakan pada Rina bahwa saya punya guilty
feelings terhadapnya. Lebih – lebih kalau ia ramah waktu malam balas jasa.
Kepada mereka saya nyatakan perasaan sakit saya. Is it’s a crime being an
idealist?” .”(Jum’at, 4 April 1968)
“Saya ingat
nasib prajurit – prajurit yang juga diprasangkai oleh banyak orang. Mereka
dipuja – puja, diciumi di jalan sebagai tentara pembebas. Tapi kalau ada
putrinya yang ingin kawin dengan tentara, nanti dahulu. Perasaaan inilah yang
ada pada saya sekarang. Soal ini telah lama saya sadari. Tetapi pada waktu itu
datang sebagai kenyataan, rasanya pedih sekali. Tapi saya tak menjadi emosional.
Saya pikir saya jauh lebih tenang dan dewasa.”(Sabtu-Minggu, 5-6 April 1969)
“Saya juga
berpikir tentang diri saya sebagai little
guy yang harus melihat realitas – realitas pacaran secara menakutkan.”(Rabu,
9 april 1969)
Seorang aktivis
seperti Gie pun tidak melulu membicarakan tentang demokrasi atau keadilan
kepada kerabatnya, sosok seperti inilah yang sesungguhnya butuh teman
bercengkrama yang lebih personal.”Malamnya saya mampir di rumah Diana. Ngobrol
lama sekali dan dia kelihatan bahagia. Bahkan saya agak down. Katanya, belum pernah saya bicara begitu personal. Saya katakan
bahwa : “I am not an idealist anymore. I am a bitter realist.”(Rabu, 16
April 1969)
“Suasana yang
tak menentu dengan Maria pecah hari itu, ia bilang bahwa ia akan nonton poetry reading bersama Humphrey”(Kamis,
17 April 1969)
“Rina dan saya
bicarakan secara terus terang kekhawatiran saya terhadap Maria yang
kelihatannya makin meyerah dan apatis. Rina kecam saya dan bilang bahwa saya
harus memperlakukan Maria secara sedikit lebih istimewa. Saya lebih sadar akan
prospek – prospek yang lebih suram.”(Jum’at, 25 April 1969)
Untuk menulis
atau memikirkan sebuah Negara yang carut marut pada masa itu dan terbangun
tengah malam, menjadi pemandangan biasa diantara para aktivis, Gie mengalami
pencabangan fikir antara logika dan perasaan yang tidak menentu. “Saya tidur
kurang lebih tengah malam. Satu setengah jam kemudian saya bangun, saya ingat
kembali situasi baru yang saya hadapi. Saya pikir bagimana gelisahnya Maria
pada malam itu. Menjelang jam empat pagi saya terbangun kembali. Saya sadar
bahwa dalam tidur kerika subconcicus yang merajai semua – semuanya. Saya tidak
dapat menipu diri saya”(Senin, 28 April 1969)
Perlu dicungi
jempol bagi aktivis tahun 60an ini, bahwa sesungguhnya cinta dan masalah
kegalauannya bukanlah sesuatu hal yang dapat merubah jati diri dan setiap
gerakannya demi Negara Indonesia.“Kau cuma cinta diri kamu dan karier kamu”.
Pada Yanti saya jelaskan lagi semuanya dari awal. Tentang hubungan saya dengan
Rina dan karier saya. “Saya tak punya karier”. “Kamu seorang humanis yang
nyerempet – nyerempet bahaya dan setiap waktu dapat dipenjara”. Saya katakan pada
Janti bahwa saya menolak untuk mengubah diri saya karena seorang pacar.”Apakah saya
harus melupakan semua karena cinta?”(Jum’at, 2 Mei 1969)
Aktivis tetaplah
manusia, secerdas apapun ia berpikir, selantang apapun ia berteriak
dan sekeras apapun ia memberontak, baik aktivis ataupun demonstran adalah
manusia yang tidak selalu memikirkan apa yang harus dikerjakan sekarang,hari
ini, esok dan seterusnya bagi Negara dan bangsa. Maju terus para aktivis muda
:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar